Karinding
adalah alat musik tradisional sunda yang dibuat dari pelepah aren dan
cara memainkannya dengan cara ruas pertama menjadi tempat mengetuk
karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada
bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan
jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakkan di
mulut, diapit bibir atas dan bawah.
Sekilas tentang cerita Endang Sugriwa alias Abah Olot
dia meyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan
suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan
identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003, ketika
karinding, alat musik tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia
terperangah. ”Saya punya tanggung jawab,” katanya. Abah Olot
merasa berkewajiban mencegah kepunahan karinding. Sejak dari kakek
buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam
keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu
dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali untuk
menekuni warisan keluarga.
”Saya
generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu setelah ayah saya (Abah
Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena matanya rabun” kata Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Di
rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan
alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan
seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng
pimpinan Abah Olot. Semua alat musik tradisional itu hampir punah.
Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya,
hanya sedikit warga yang bisa membuat karinding.
Karinding
mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 cm. Namun dalam
perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang
menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi berbuah. Maka,
pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua dan mengering. Lalu bambu
menjadi bahan utama karinding. Syaratnya, umur bambu minimal dua tahun.
Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas.
Sekilas
bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu berasal
dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur
tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari.
Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara
memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang. Karinding mulai jarang
dimainkan selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi
selera musik masyarakat sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering
dimainkan pada acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun
1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Karinding dimainkan untuk menghibur petani saat memanen padi atau saat
menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud
suka cita atas hasil panen.
Memasuki
era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi. Minimnya publikasi tentang
karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional
ini. Karinding hanya lestari dalam sejumlah keluarga kecil, termasuk
keluarga Abah Olot.
Sejak
usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari
ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa.
Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan
warisan keahlian keluarga. ”Istilahnya ulah kasilih ku junta (jangan melupakan adat-istiadat)”
katanya. Dari situ lah abah olot mulai tertarik membangkitkan karinding
ini. Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap
tak sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat karinding, Abah
Olot memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima. Ajakannya
kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding, ditolak. ”Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya memainkan karinding,” katanya.
Abah Olot sedang memainkan Karinding |
Namun,
Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. Tahun 2008,
pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif
kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.”Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di depan publik,” kata Abah Olot.
Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack
beranggota delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman
tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan
death metal yang sering dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka memainkan karinding.
Hasilnya,
pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung
Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula
dari komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan kaum
muda.
Banyak
di antara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan karinding.
Kini, satu karinding dihargai Rp 50.000. Pesanan karinding mulai
mengalir, bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi pesanan
100 karinding.
Alat
musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah.
Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding.
Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern
.
Nama kelompok mereka pun ”segar”, seperti Markipat (kependekan dari Mari Kita Merapat), Karmila
(singkatan dari Karinding Militan), Republik Batujajar dari Kabupaten
Bandung Barat, dan Karinding Skateboard yang dimainkan komunitas
skateboard.
Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz Festival,
Desember 2009. Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah,
karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik
elektrik dan instrumen modern, seperti gitar, terompet, serta drum.
Maka, mengalunlah lagu-lagu Sunda dalam harmoni jazz dan karinding.
Di balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot yang tetap setia di ”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat Sunda.