Thursday, December 27, 2012

Indonesia sebagai negara yang tengah berkembang membutuhkan pembiayaan yang besar dalam menjalankan dan menjaga stabilitas roda pemerintahan dan perekonomian. Kebutuhan pembiayaan yang besar ini tidak bisa jika hanya mengandalkan penerimaan dari dalam negeri baik dari pajak maupunnon pajak.

Maka, konsep utang diperlukan untuk menutupi kekurangan tersebut. Utang bukanlah sesuatu yang tabu dan harus malu untuk dilakukan. Pasalnya, bahkan negara besar dan maju seperti Amerika, China maupun Jepang punmasih membutuhkan utang.

Tahun ini, pemerintah masih harus menerbitkan instrumen obligasi negara sebesar Rp 156,2 triliun untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang masih kurang Rp 190,1 triliun.

Pembiayaan dari utang tersebut dibutuhkan akibat pendapatan pajak dan nonpajak tidak mampu memenuhi kebutuhan belanja negara. Tahun ini pemerintah membutuhkan Rp 1.548,3 triliun untuk membiayai pembangunandan kementerian/lembaga negara. Padahal, pendapatan dari pajak dan nonpajak hanya diproyeksikan mencapai Rp 1.358,2 triliun.

Tahun depan, pemerintah membutuhkan Rp 1.683 triliun untuk belanja dan hanya dipenuhi oleh pendapatan pajak dan nonpajak sebesar Rp 1.529,7 triliun. Untuk itu, pemerintah masih membutuhkan kekurangan pembiayaansebesar Rp 153 triliun. Namun, pemerintah berencana untuk menerbitkan obligasi sebesar Rp 161,5 triliun untuk menutup pembayaran biaya nonutang.

Mantan Direktur Jendral Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto mengatakan meski sulit lepas dari utang, pemerintah terus melakukan pengurangan persentase pinjaman. Namun untuk menghilangkan program utang ini sama sekali tergantung keputusan pemerintah.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Scenaider C.H. Siahaan menambahkan Indonesia sangat mampu untuk melunasi seluruh utangnya. Indikator tersebutterlihat dari rasio utang yang dimiliki pemerintah saat ini jauh lebih rendah ketimbang negara-negara berkembang lainnya, bahkan negara maju sekalipun.

"Rasio utang terdapat GDP Indonesia saat ini sekitar 24 persen. Di Jepang, rasio utangnya lebih dari 200 persen GDP. Amerika itu bahkan 70 persen," ujarnya.

Berdasarkan data Ditjen PU, hingga 31 Mei 2012 total utang pemerintah pusat mencapai Rp. 1,944 triliun. Dengan rincian, utang dalam bentuk pinjaman sebesar Rp. 639 miliar dan dalam bentuk Surat Berharga Negara(SBN) yang diterbitkan pemerintah sebesar Rp 1,304 triliun.

Data Bank Indonesia per Juli tahun 2012 terdapat lima negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia. Mereka adalah Belanda sebesar USD 1,17 miliar, Jerman USD 2 miliar, Prancis USD 2,4 miliar, Amerika Serikat USD 23,9 miliar, dan Jepang USD 31,14 miliar.

Koalisi Anti Utang (KAU) menilai pemerintah malas meningkatkan pendapatan dan justru rajin bergantung pada utang dalammemenuhi kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal dalam membayar utang tentunya akan menggerus alokasi anggaran lain.

Koordinator KAU, Dani Setiawan, mengatakan utang pemerintah per Juni 2012 mencapai Rp 1.960 triliun. Padahal kemampuan menyerap utang baru sekitar 71,2 persen. Untuk anggaran 2012, terdapat utang sebesar Rp157,9 triliun yang belum terserap.

"Rata-rata pertumbuhan penarikan utang baru 2009-2012 sebesar 13,2 persen. Kondisi ini membuat pemerintah gagal memenuhi hak asasi manusia khususnya dalam bidang ekonomi," ujarnya.

Keputusan peningkatan penarikan utang di 2013 sebesar 3,7 persen, lanjutnya, membuat pemerintah hanya mementingkan kepentingan ekonom neoliberal dan membiarkan bangsa terjajah dibalik kebijakan utang. Di2013 pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp 230,2 triliun.

"Alasan tidak menghentikan pembayaran bunga atau pokok obligasi rekap karena akan menurunkan peringkat kredit danmenimbulkan ketidakpercayaan pelaku pasar. Ini menunjukkan pemerintah tidak berpihak pada rakyat," tuturnya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuding, ada mafia anggaran yang bermain dalam pembahasan soal pinjaman. Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Tamsil Linrung mengatakan, permainan sangat terasa dalam proses pengajuan pinjaman ini.

"Memang mafia utang sangat besar. Sebab saat kita negosiasi utang saja sudah ada fee di situ," ujarnya.

Selain mafia utang, rendahnya realisasi penyerapan anggaran juga membuat kebijakan pinjaman menjadi tidak produktif. Utang semakin memberatkan. Alasannya, meski penarikan tidak terealisasi, negaratetap harus membayar commitment fee dari pinjaman tersebut."Dulu banyak utang-utang kita yang tidak digunakan misal kredit ekspor," tuturnya.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan rencananya untuk melakukan audit kinerja terhadap utang luar negeri pemerintah. Lembaga audit negara ini menilai utang luar negeri yang besar harus memberikanmanfaat bukan kerugian bagi masyarakat Indonesia.

Wakil Ketua BPK Hasan Bisri menegaskan audit ini akan memeriksa manajemen atau pengelolaan utang luar negeri Indonesia. "BPK tidak menginginkan utang yang menjadi beban masyarakat hingga anak cucumenjadi masalah," katanya.

Dia memaparkan aspek yang akan diperiksa diantaranya penetapan bunga hingga siapa pembeli dari surat utang itu. "Kalau bunga tinggi yang menikmati masyarakat kita kan makmur kita tapi kalau investor asingmungkin kurang bagus lah," ujarnya. Hasan menambahkan bahwa BPK hanya memeriksa sebatas manajemen utang dan tidak sampai penggunaan dana tersebut.

Kementerian Keuangan memperkirakan Indonesia akan terbebas dari utang pada 2016. Pasalnya, dalam APBN 2016 penerimaan akan lebih besar dari belanja sehingga neraca menjadi surplus.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jendral Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan, mengatakan kondisi neraca yang surplus membuat negara tidak perlu berutang untukmembiayai pembangunan.

Berdasarkan data rancangan DJPU, pada tahun 2013, diperkirakan defisit Rp 153,3 triliun atau 1,6 dari PDB, tahun 2014 defisit Rp 149,2 triliun atau 1,4 persen dari PDB, tahun 2015 defisit sebesar Rp 53,6triliun atau 0,4 persen dari PDB."Sementara tahun 2016 telah surplus Rp 42,2 triliun atau 0,3 persen dari PDB," tuturnya.

Sedangkan penarikan utang untuk pembiayaan pada 2013 mencapai Rp 161,5 triliun atau 1,7 persen dari PDB, tahun 2014 sebesar Rp 160,6 triliun atau 1,5 persen dari PDB, tahun 2015 sebesar Rp 58,3 triliun atau 0,5 persen dari PDB, dan pada 2016, pemerintah berhenti menarik dan mulai membayarkan utang sebesar Rp 38,9 triliun atau 0,3 persen dari PDB.

Direktur Evaluasi Akuntansi dan Settlement DJPU Kementerian Keuangan, Widjanarko, menambahkan utang Indonesia sejauh ini diperkirakan mencapai Rp 2.000 triliun. Untuk melunasi jumlah ini dibutuhkan waktusekitar 30 tahun.

"Jadi utang Rp 2.000 triliun kita itu baru bisa lunas tahun 2050-an," ucapnya.

Categories:

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!