Monday, December 31, 2012


  Sunan Ampel

 


 Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand.
Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu
daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti
sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai perawi hadits sahih.
 
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin Jumadil Kubra, seorang
Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena
berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang jawa
sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutkan sebagai Syekh
Ibrahim Asmarakandi.
 
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra
untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian
diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi
Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari
perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang
putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri atau Sayyid Alim
Murtolo.

Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu
Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat itu keponakan Ratu Majapahit dan
tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Raja Majapahit sangat senang mendapat
istri dari negeri Cempa yang wajahnya tidak kalah menarik dengan Dewi Sari.
 
Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang
tersebar di seluruh Nusantara.
 
Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan
kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
 
Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan.
Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke
dunia.
 
Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih terkenal
dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak
Bintoro.
 
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara,
dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya
Kertabhumi. Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.
 
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati.
Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka
berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan
semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan
betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
 
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan
memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
 
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang
Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak
terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para

pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini
dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
 
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
 
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu ?”
 
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana
untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti
semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
 
“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan
budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
 
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
 
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Cempa.
Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali
Rahmatullah ke Majapahit ini.”
 
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan Sayyid
Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.
 
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta
Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
 
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan raja Cempa tidak
keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid
Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana
disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan
kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
 
 Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban,
tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal
dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih termasuk ke camatan Palang kabupaten
Tuban.
 
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah keliling ke daerah Nusa
Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima,
dan akhirnya berda’wah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan
dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap
Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
 
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang Prabu.
Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. “Dengan
senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan
saya mendidik mereka.”
 
“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut
bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran
Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
 
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
 
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di
istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi
Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit,
karena dia adalah menantu raja Majapahit. Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan
berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut
sebagai Ampeldenta.
 
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Diantaranya adalah
pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti Karimah yang kemudian
menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga melakukan da’wah sehingga
bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke Ampeldenta. Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga
kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu di tandai
dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka
kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
  
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah pertama yang
dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren
tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang
berguru kapada beliau.
 
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak mau melakukan lima hal
tercela yaitu: main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan, mencuri, madat atau
menghisap madu dan madon atau main perempuan yang bukan isterinya.
 
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam
itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan
ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika
dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau.
 
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh
Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmatpun memberi
penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
 
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali
Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra
Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah putra Sunan
Ampel sendiri.
 
Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya
yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau juga turut membantu
mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat
tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya
yaitu Sunan Ampel.
 
Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung oleh Sunan
Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para Wali di
masjid Agung Demak.
 
Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji,
kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga
tersebut bertanyalah Sunan Ampel :
   
“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti
dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ah ?”
 
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan
pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama
Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang
jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan
wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun
tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari
akan ada orang yang menyempurnakannya.”
 
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah.
Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima
oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat
istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong
masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit
demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman
mereka.
 
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan
murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat
ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala
macam bid’ah.
 
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila Sunan Ampel mendapat
beberapa putra di antaranya :
 
1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.
3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.
4. Siti Mutmainah
5. Siti Alwiyah
6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.
 
Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua
orang putri yaitu : 
  
1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.
2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.
 
Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka
dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas
Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati.
Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada
pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor penjaga aliran lama itu
menjadi menantu Sunan Ampel.
 
Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga.
Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga
memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar
mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan
perjuangan masing-masing anggotanya.
 
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam beliau bahkan pada malam harinya juga.
 
Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad para auliya muqorrobin
dan meridhai segala amal beliau.
 
*****
Sumber : http://dimhad.6te.net
Categories:

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!